Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Wanita Cantik Lahir Batin, Calon Istri Idaman

Wanita Cantik Lahir Batin, Kamu Harus Segera Nikahi Dia Model wanita seperti ini sangat langka. Baca selengkapnya: https://www.genpi.co/gaya-hidup/33478/wanita-cantik-lahir-batin-kamu-harus-segera-nikahi-dia

5 Mobil Mewah Termahal Yang Pernah Dijual di Indonesia

Punya khalayak otomotif yang kuat, lima mobil mewah termahal ini pernah dijual di Indonesia! https://carro.id/blog/5-mobil-mewah-termahal-yang-pernah-dijual-di-indonesia/

Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16

Bola.net - Asisten Shin Tae-yong, Nova Arianto mengapresiasi keberhasilan Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16 2022. https://www.bola.net/tim_nasional/timnas-indonesia-juara-piala-aff-u-16-2022-asisten-shin-tae-yong-jangan-layu-sebelum-berkemba-ca151c.html

Tesla Cybertruck Asli dalam Video Baru Dari Peterson

Diupload: 13 Apr 2023, Museum Otomotif Peterson memiliki prototipe Cybertruck pertama yang dipamerkan dalam pameran, selengakapnya di https://id.motor1.com/news/662022/tesla-cybertruck-asli-museum-peterson/

Kabar Baik untuk ARMY! BTS Kembali Dinobatkan sebagai Penyanyi K-Pop Terpopuler

Dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari laman Soompi, BTS kembali menempati peringkat pertama sebagai penyanyi K-Pop terpopuler https://cirebon.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-042118224/kabar-baik-untuk-army-bts-kembali-dinobatkan-sebagai-penyanyi-k-pop-terpopuler-di-bulan-juni-2021

Pencarian

15 Oktober 2017

Cerpen Pilihan - Lomba Membaca Cerpen - Bulan Bahasa 2017

Cerpen Pilihan 1:

 

Pelajaran Mengarang

oleh: Seno Gumira Ajidarma

 


Pelajaran mengarang sudah dimulai.

“Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.

Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.

Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.

Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.

Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.

Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.

“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama, ” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.

***

Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.

“Mama, apakah Sandra punya Papa?”

“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”

Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.

Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk ke dalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.

“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”

Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.

Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.

“Anak siapa itu?”

“Marti. ”

“Bapaknya?”

“Mana aku tahu!”

Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk di ruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.

“Anak kecil kok dibawa ke sini, sih?”

“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Diperkosa orang malah repot nanti. ”

Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru di luar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.

***

Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi.

Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.

“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”

Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu kukasih makan dan kusekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”

Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.

“Mama kerja apa, sih?”

Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.

Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seperti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”

Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.

“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra. ”

“Seperti Mama?”

“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama. ”

Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager.

Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri di muka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
           
DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20. 00
           
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.

***

Empat puluh menit lewat sudah.

“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan, ” kata Ibu guru Tati.

Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa di antaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.

Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.

“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.

Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.

“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan, ” ujar Ibu Guru Tati.

Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.

Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.

Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:

Ibuku seorang pelacur…
         
Palmerah, 30 November 1991
*) Dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992. Terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1993.



  download cerpen:
Cerpen Pilihan - Lomba Membaca Cerpen
 

Cerpen Pilihan 2:

 

Saksi Mata

oleh: Seno Gumira Ajidarma


Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba udara. Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.

Darah membasahi pipinya membasahi bajunya membasahi celananya, membasahi sepatunya dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dnegan karbol yang baunya bahkan masih tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu daris egala sudut sampai menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkeredap membuat suasana makin panas.      
“Terlalu!”    

“Edan!”        

“Sadis!”        

Bapak Hakim Yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk-ngetukkan palunya. dengan sisa wibawa yang masih ada ia mencoba menenangkan keadaan.      

“Tenang saudara-saudara! Tenang! Siapa yang mengganggu jalannya pengadilan akan saya usir keluar ruangan!”      

Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka juga ingin segera tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi.           

“Saudara Saksi Mata. ”       

“Saya Pak. ”

“Di manakah mata saudara?”

“Diambil orang Pak. ”        

“Diambil?”

“Saya Pak. ”

“Maksudnya dioperasi?”   

“Bukan Pak, diambil pakai sendok. ”        

“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”    

“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng. ” (masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)        

“Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?”           

“Yang mengambil mata saya Pak. ”

“Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?”

“Dia tidak bilang siapa namanya Pak. ”   

“Saudara tidak tanya bego?”        

“Tidak Pak. ”           

“Dengar baik-baik bego, maksud saya seperti apa rupa orang itu? Sebelum mata saudara diambil dengan sendok yang katanya untuk dibuat tengkleng atau campuran sop kambing barangkali, mata saudara masih ada di tempatnya kan?”        

“Saya Pak. ”

“Jadi saudara melihat seperti apa orangnya kan?”        

“Saya Pak. ”

“Coba ceritakan apa yang dilihat mata saudara yang sekarang sudah dimakan para penggemar tengkleng itu. ”          

Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung di ruang pengadilan menahan napas.

“Ada beberapa orang Pak. ”

“Berapa?”

“Lima Pak. ”

“Seperti apa mereka?”       

“Saya tidak sempat meneliti Pak, habis mata saya keburu diambil sih.”

“Masih ingat pakaiannya barangkali?”    

“Yang jelas mereka berseragam Pak. ”

Ruang pengadilan jadi riuh kembali seperti dengungan seribu lebah.

***    

Hakim mengetuk-ngetukkan palunya. Suara lebah menghilang.

“Seragam tentara maksudnya?”   

“Bukan Pak. ”          

“Polisi?”       

“Bukan juga Pak. ”  

“Hansip barangkali?”         

“Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film. ”

“Mukanya ditutupi?”          

“Iya Pak, cuma kelihatan matanya. ”        

“Aaaah, saya tahu! Ninja kan?”     

“Nah, itu ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!”

Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi. Lagi-lagi Bapak Hakim Yang Mulia mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya orang banyak itu menjadi tenang.

Darah masih menetes-netes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.       

Tapi orang-orang tidak melihatnya.        

“Saudara Saksi Mata. ”

“Saya Pak. ”

“Ngomong-ngomong, kenapa saudara diam saja ketika mata saudara diambil dengan sendok?”   

“Mereka berlima Pak. ”      

“Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong saudara. Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengaran, tapi kenapa saudara diam saja?”       

“Habis terjadinya dalam mimpi sih Pak. ”           

Orang-orang tertawa. Hakim mengetuk lagi dengan marah.    

“Coba tenang sedikit! Ini ruang pengadilan, bukan Srimulat!”

***    

Ruang pengadilan itu terasa sumpek. Orang-orang berkeringat, namun mereka tak mau beranjak. Darah di halaman mengalir sampai ke tempat parkir. Hakim meneruskan pertanyaannya.  

“Saudara Saksi Mata tadi mengatakan terjadi di dalam mimpi. Apakah maksud saudara kejadiannya begini cepat seperti dalam mimpi?”           

“Bukan Pak, bukan seperti mimpi, tapi memang terjadinya dalam mimpi, itu sebabnya saya diam saja ketika mereka mau menyendok mata saya. ”        

“Saudara serius? Jangan main-main ya, nanti saudara harus mengucapkannya di bawah sumpah. ”            
“Sungguh mati saya serius Pak, saya diam saja karena saya pikir toh terjadinya cuma dalam mimpi ini. Saya malah ketawa-ketawa waktu mereka bilang mau dibikin tengkleng. ”            

“Jadi, menurut saudara Saksi Mata segenap pengambilan mata itu hanya terjadi dalam mimpi?”  

“Bukan hanya menurut saya Pak, memang terjadinya di dalam mimpi. ”       

“Saudara kan bisa saja gila. ”        

“Lho ini bisa dibuktikan Pak, banyak saksi mata yang tahu kalau sepanjang malam saya cuma tidur Pak, dan selama tidur tidak ada orang mengganggu saya Pak. ”            

“Jadi terjadinya pasti di dalam mimpi ya?”         

“Saya Pak. ”

“Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?”         

“Betul Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu bangun kok ternyata betul-betul ya?”        

Hakim menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa mengerti.      

“Absurd, ” gumamnya.       

Darah yang mengalir telah sampai ke jalan raya.
***    

Apakah Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi masih bisa bersaksi? Tentu masih bisa, pikir Bapak Hakim Yang Mulia, bukankah ingatannya tidak ikut terbawa oleh matanya?

“Saudara Saksi Mata. ”       

“Saya Pak. ”

“Apakah saudara masih bisa bersaksi?”            

“Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.”

“Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah tidak bermata lagi?”           

“Saya Pak. ”

“Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?”    

“Saya Pak. ”

“Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?”        

“Saya Pak. ”

“Ingatlah semua itu baik-baik, karena meskipun banyak saksi mata, tidak ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali saudara. ”    

“Saya Pak. ”

“Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?”    

“Saya Pak. ”

“Kenapa?”   

“Demi keadilan dan kebenaran Pak. ”     

Ruang pengadilan jadi gemuruh. Semua orang bertepuk tangan, termasuk Jaksa dan Pembela. Banyak yang bersorak-sorak. Beberapa orang mulai meneriakkan yel.           

Bapak Hakim Yang Mulia segera mengetukkan palu wasiatnya.

“Hussss! Jangan kampanye di sini!” Ia berkata dengan tegas.

“Sidang hari ini ditunda, dimulai lagi besok untuk mendengar kesaksian saudara Saksi mata yang sudah tidak punya mata lagi!”        

Dengan sisa semangat, sekali lagi ia ketukkan palu, namun palu itu patah. Orang-orang tertawa. Para wartawan, yang terpaksa menulis berita kecil karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-cepat memotretnya. Klik-klik-klik-klik-klik! Bapak Hakim Yang Mulia diabadikan sedang memegang palu yang patah.

***    


Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakin Yang Mulia berkata pada sopirnya, “Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?”       

Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat, “Keadilan tidak buta. ”* Namun Bapak Hakim Yang Mulia telah tertidur dalam kemacetan jalan yang menjengkelkan.       

Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus menerus sepanjang jalan raya samapi kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada seorang pun melihatnya.   

Ketika hari sudah menjadi malam, saksi mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.

Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam Ninja mencabut lidahnya–kali ini menggunakan catut.

Jakarta, 4 Maret 1992


  download cerpen:
Cerpen Pilihan - Lomba Membaca Cerpen



Cerpen Pilihan 3:

 

Sepotong Senja Untuk Pacarku

oleh: Seno Gumira Ajidarma

 

 

Alina tercinta, Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan. Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu. Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. “barangkali senja ini bagus untukmu, ” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi.

Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana. Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos. Alina sayang, Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu.

Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku, sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing?

Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko, dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan. “Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota. Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang.

Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi. Sirene polisi mendekat dari belakang.

Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan. “Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru. Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar. Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki.

Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina. Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka. Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu.

Aku berlari di antara gudang, rumah tua, tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah, ” katanya tenang, “disitu kamu aman”.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu. Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain. ”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku.

Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut.

Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian. Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong, di tempat cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persis sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak burung; tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama, tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina. Semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta.

Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?” Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana.

Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untuk apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja…. Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang.

Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih. Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan, anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari, laut, pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilahi. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku. Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang asli ini untukmu, lewat pos. Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya? bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tidak lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi. Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

Cerpen Pilihan Kompas 1993


 
  download cerpen:
Cerpen Pilihan - Lomba Membaca Cerpen




Cerpen Pilihan 4:




NASI BUNGKUS PRESIDEN
oleh: Abank Juki


Sore itu ku berjalan susuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.
 
“Bu... lapar....”

Kupertajam indera dengarku.
 
“Bu, pengen makan....”
“Iya nak, ibu tahu kau lapar. Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya....”
“Bu... aku lapar.”
“Iya nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”

Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bisa kuteguk. Itupun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong paling ujung. Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.
 
“Bu, lapar....”
“Iyaaaa... nak... tunggu bapakmu.”


Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.

“Nak, Tuhan mendengarmu. Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
“Bu, bapak pulang.”
“Bapak... Ara lapar, mau makan.”
“Iya, nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”
“Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
“Iya, nak. Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
“Iya pak, makasih.”
“Bukan ke bapak nak, tapi ke presiden kita.”
“Emang makanan ini dari presiden ya pak?”
“Iya nak, karena presiden mau menaikkan BBM, hari ini bapak dapat makanan.”
“Pak presiden yang ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu presiden ya? Bapak hebat. Ara mau ketemu presiden pak. Ara mau bilang makasih ke presiden. Bapak antarkan Ara Ya....”
“Sudah, kamu makan dulu sana.... Habiskan ya nak.”

Sesaat ku terdiam. Kurenungkan dialog bpk dan anak itu. Presiden mmberi nasi bungkus? Kpd bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang presiden sebaik itu??

Alangkah baiknya sang presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.

Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat?? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.

BBM naik. Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???

Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung. Di tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur dgn perut yang hanya terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.

Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dn seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.

Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.

Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka. Kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang presiden memberikan nasi bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??

Dengan sabar kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sudah kuhapal.

“Bu, lapar... mau makan.”
“Iya nak, tunggu bapak pulang.”

Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk anaknya.

“Pak, lapar....”
“Iya nak, nih bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak presiden lagi?”

Sang bapak tua tak menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi. “Nasi ini dari presiden kita, nak.”

Lalu meminta anaknya makan. “Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”

Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.
 
“Bapak benar bertemu pak presiden? Benar bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar bapak.... Benar bapak....”

Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.

Hahahaha, ternyata rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati kumerasa sebentar lagi penasaran itu 'kan terjawab.

Dengan tenang sang bapak memegang kedua pundak sang ibu.
 
“Bu, kita ini siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita bu, dia tak kenal bapak. Lagipula ibu percaya bahwa presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
 
“Tapi pak.... Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”
“Bu..., bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu pak.... Dari mana nasi bungkus itu?”

Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
 
“Bu, bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM. Bapak juga tak peduli. Siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang bapak tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.

Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat. Mereka makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, bu.

Beberapa hari ini bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak cuma tahu pak presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat presiden, nasi ini dari presiden.

Seketika aku tergagap. Aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati. Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.

===TAMAT===

(Cikarang, Minggu, 8 April 2012, 05.00 WIB)
 
 



Sumber


Share:

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog