Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Pencarian

24 Februari 2014

Momen

.

http://blog.kompasiana.com/2014/02/24/inilah-pemenang-even-fiksi-cinta-fiksiana-634235.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/20/momen-633398.html







sumber gambar: http://static3.wikia.nocookie.net/__cb20130430222043/creepypasta/images/9/92/Love2.jpg


 ========================


The Moment, Kenny G menggelitik lembut telingaku. Kuraih ponsel dan kumatikan alarm pertama yang kuset setiap hari.  Pelan kusingkirkan lengan Karso dari atas perutku. Rambut ikal panjangku, kutarik ke belakang dan kuikat dengan karet gelang bekas pembungkus makan siang yang melingkari pergelangan tanganku. Aku turun dari kasur dengan melangkahi Karso yang masih terlelap.

Kubuka jendela kamarku untuk menerima hadiah yang semesta berikan kepadaku setiap hari – kesejukan embun pagi. Karso sering menanyakan alarm pagiku yang mendayu-dayu dan terlalu awal di setiap paginya – jam 3 pagi.

“Jam segitu enak-enaknya kelonan tau!” dan “Alarm itu yo musik yang nge-rock, metal! Ini kok si kribo melankolis!”

Karso, pria yang terkadang tidak peka dan aku mencintainya. Keseharianku bergumul dengan debu, panas matahari, teriakan, sampah, dan anak-anak kolong. Gerah dan berkeringat. Kapan lagi aku merasakan sejuknya dunia kalau bukan pagi seperti ini. Aku tidak mau melewatkannya. Ini hakku. Aku menarik nafas dalam-dalam, membiarkan udara sejuk mengisi paru-paruku. Dan tentang alarm itu. Tidak semua orang mesti ditendang dulu baru bekerja. Sebuah tepukan atau sentuhan halus juga mampu.

-

Karso yang baru saja masuk kamar mandi sudah keluar lagi. Tangannya cepat meraih sebatang filter dari meja kecil di kamar. Membakar ujungnya. Menghisap dalam-dalam.

“Buku yang baru kubeli mana beb?”

Aku tidak menjawab. Aku sedang menyiapkan nasi goreng untuk sarapan di dapur. Karso menuju rak buku gantung di kamar, matanya menelusuri setiap punggung buku. Sepertinya buku yang dicari tidak ada, tangannya meninju udara.

“Buruan! Kebelet boker nih!”

“Buku apaan?”

“Buku Sketsa pensil, baru gue beli…”

Aku menuju ruang depan tempat motor diparkir. Mengambil kantongan hitam yang menggantung di stang motor. Dan kulempar ke arahnya.

“Nih!”

Dengan sigap Karso menangkap buku itu. Sambil mengedipkan matanya dia berlari ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, suaranya yang serak, membahana di kamar mandi.

“Kopi hitam, kental, gak pake gula!”

-

Matahari meninggi, anak-anak bersemangat melatih tulisan mereka. Aku baru saja membagikan mereka buku gambar baru dan selusin pensil warna. Kehidupan mereka keras, aku tidak mungkin bisa memahami mereka dengan memberikan mereka pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka merasa asing dan tertekan. Jadi, aku memutuskan memahami karakter mereka melalui coretan jemari kurus dan dekil mereka.

Aku menatap wajah mereka satu persatu. Aku sedih. Masa depan seperti apa yang bisa mereka wujudkan dengan masa kecil sesulit ini.

“Ada yang melihat Cuki? Kenapa dia nggak datang hari ini?”

Beberapa anak menatapku, menggeleng dan melanjutkan tulisannya.

Cuki. Anak itu paling rajin. Jam delapan pagi di sudah duduk di salah satu bongkahan batu itu. Duduk melipat tangan di dada dan menatap kendaraan yang lalu-lalang di jalanan. Cuki satu di antara anak-anakku yang mempertanyakan kehidupan mereka, “kenapa sih kami hidup di jalanan?”.

Jam makan siang sudah dekat Cuki belum juga datang. Biasanya dia dengan sigap membantuku membagikan nasi bungkus kepada anak-anak yang lain. Kata Cuki, “Begini, aku nggak hanya nerima doang. Aku memberi…”

Setelah makan siang aku melepas anak-anak. Aku  nggak bisa dengan seenaknya saja masuk ke dalam kehidupan mereka dan menjejalkan hal-hal baru ke dalam otak mereka. Mereka punya jalan hidup yang istimewa. Aku ingin menyentuhnya dengan halus dan tenang. Ada waktu untuk belajar dan ada waktu untuk mencari uang.

Kulirik pergelangan tanganku, sudah jam tiga sore. Matahari sudah melunak. Aku memutuskan untuk berjalan. Lumayan jauh untuk sampai ke kontrakan. Tapi aku jadi punya waktu yang banyak untuk merenung.

Ini tahun kelima sejak aku melarikan diri dari rumah. Lima tahun tidak bertegur sapa dengan semua keluargaku. Apa kabar mereka di sana.  Entahlah, kenapa aku memikirkan mereka belakangan ini. Mungkin aku sudah capek dengan rasa yang berkecamuk di pikiranku.

-

Aku bisa merasakan keringat mengalir di punggungku dan meluncur dari belahan dadaku padahal aku baru berjalan satu kilometer. Aku berhenti pada sebuah warung, mengambil sebotol air  mineral dan membayarnya.

Belum ada seratus langkah aku menemukan tubuh yang tergelung di samping tong sampah. Aku berhenti, menatap lekat. Memastikan kalau bercak merah di lengan bajunya bukan darah. Aku mendekat.

Ya Tuhan!

Darah! Lukanya masih baru. Aku panik. Aku melihat sekelilingku entah untuk apa. Aku tidak pernah menghadapi yang berdarah-darah seperti ini.  Aku mendorong tubuh itu pelan tak ingin menambah sakit padanya.

“Hey,”

Tubuh itu bergerak. Wajahnya yang disembunyikan di antara kedua kakinya yang ditekuk  diperlihatkan kepadaku. Mataku memanas dan jantungku berdetak sangat kencang. Wajah sendu dengan tatapan kosong tanpa air mata, ditambah luka sayat memanjang di pipi gadis kecil itu.

Ya Tuhan!

Aku berteriak dan melambaikan ke arah tukang ojek di persimpangan. Tubuh gadis itu kaku di gendonganku saat hendak menaikkan ke boncengan. Luka di pipinya cukup dalam. Berbahaya bila dibiarkan begitu saja. Bisa infeksi.

“Klinik terdekat bang!”

-

Aku berjongkok di ruang tunggu. Aku marah. Siapa yang tega melakukan itu kepada anak kecil. Jahat. Keterlaluan. Kurang ajar. Bangsat!

Gadis kecil itu berjalan menghampiriku. Begitu dingin. Aku tidak pernah bertemu anak kecil sedingin ini. Bekas jahitan di pipinya membuat hatiku meringis pedih. Aku memintanya duduk saat aku membayar tagihan di kasir.

Sebelum mengantarnya pulang, aku mengajaknya makan. Gadis kecil itu tidak banyak bicara. Dia melahap ayam goreng yang kupesankan untuknya. Sepiring nasi dan segelas es teh manis dilahap juga sampai tandas.

Aku tidak memesan makanan. Aku masih marah. Aku tidak berselera kalau sedang marah.

“Siapa yang melakukan itu?” tanyaku setelah dia menyedot habis es teh manis.

Dia menatapku, dia ragu untuk menjawab. Aku tersenyum.

“Aku pengen tau aja kok.”

Dia menunduk menggumam lirih.

“Apa? Gak kedengeran.”

Dia menatapku kali ini, lebih menantang, “Ibuku.”

Belum sempat aku menanggapi dia menambahkan.

“Enggak apa-apa kok, enggak begitu sakit. Ibu marah banget tadi sama Ayah. Samaku juga. Karena aku nakal, aku enggak dapat duit banyak. Aku bermain-main. Ibu marah, jadi Ibu pukul aku. Supaya aku enggak nakal lagi. Eggak sakit kok. Beneran.”

Aku tak bisa berkata-kata. Ini luar biasa.

“Kamu masih mau pulang sama Ibu?”

“Iya, pulang sama siapa lagi.”

“Kamu nggak benci sama Ibu?”

“Enggak. Aku sudah bilang, Ibu cuma marah karna aku nakal.”

Aku mengantarkan gadis kecil itu ke tempat aku menemukannya dan dia akan pulang sendiri – seperti permintaannya.

“Ibu akan memukulku kalau aku pulang dengan orang lain.”

-

Aku membuka kasar pintu kontrakan, melewati Karso yang sedang sibuk dengan laptopnya. Aku tak ingin dia melihat airmata yang membanjiri wajahku.  Aku mengunci kamar dan menangis sepuasnya.

“Beb? Ada apa?”

Kenangan berusia lima tahun yang kupendam selama ini menari-nari di mataku…

Saat itu aku baru saja lulus SMA, Timothy pacarku berniat serius dan ingin melamarku. Aku memintanya menunggu dua tahun lagi. Kupikir orangtuaku pasti tidak setuju. Timothy bersikeras mengingat usianya sudah 35. Akupun mengiyakan. Aku mencintai Tim lebih dari apapun. Tak ada yang lebih bahagia selain hidup bersama pria yang aku cintai.

Malam minggu, Tim datang dengan niatnya yang tulus. Mengutarakan keinginan hatinya untuk meminangku. Meyakinkan orangtuaku tentang cinta kami. Kupikir orangtuaku akan bijak menanggapi putri kecilnya dilamar pria dewasa dan mapan. Ternyata tidak.

Ibu memeluk dan berusaha membawaku ke kamar. Ayah, mengusir Tim di depan mataku. Ayah mengancam 
akan melapor ke polisi kalau Tim berusaha mendekati aku.

Aku meronta dari pelukan Ibu. Kukejar Tim yang tertunduk lesu keluar dari rumah. Aku menangis, memohon supaya Tim membawaku pergi. Tim menggenggam kedua tanganku. Matanya berkaca-kaca. Tapi tak satu katapun keluar dari mulutnya.

“Bawalah aku Tim! Kumohon!”

Ayah berang kemudian menyeret dan melemparkanku ke kamar dan menguncinya dari luar. Aku berteriak begitu mendengar mesin motor Tim menjauh dari rumah. Aku hilang kendali. Aku tak sadar apa yang kulakukan dengan tubuhku.

Begitu aku bangun. Aku sudah terbaring lemah di rumah sakit. Kepalaku diperban, sakit sekali saat aku mencoba bangun. Kedua lenganku luka bekas dicakar, sepertinya dicakar hingga kuku tertancap ke kulitku.

Selama masa perawatan aku mogok bicara. Hingga aku kembali ke kamarku. Aku mendapati semua benda yang berbau Tim sudah lenyap dari kamarku. Masih dengan baju tidurku, aku meminta penjelasan kepada Ayah yang sedang menikmati kopi sore.

“Handphone Giselle mana Yah?” suaraku bergetar menahan amarah. Ayah diam saja.

“Beruang coklat Giselle? Gelang? Foto Tim, diary?!!” nadaku semakin meninggi dan membuat Ayah terkejut. Ayah bangkit, melempar koran ke lantai dan menjawab dengan dingin dan tegas.

“Sudah Ayah buang semua! Semua tentang laki-laki itu sudah Ayah buang!”

Spontan aku berlari menuju bak sampah di sudut komplek perumahan. Ayah mengejarku, Ibu menjerit-jerit histeris. Dengan kondisi tubuhku yang masih lemah, Ayah dengan mudah mendapatkanku. Ayah mencoba menyeretku. Aku menepis tangannya kasar. Aku menyelesaikan semuanya ketika tiba di rumah.

“Giselle bukan anak kecil!”

“Kamu mau menikah di umur 19 tahun? Yang benar saja!”

“Iya! Dan itu sudah Giselle pikirkan! Giselle sadar seratus persen sama apa yang keluar dari mulut Giselle!”

“Anakmu sudah gila Bu…” Ayah menggelengkan kepalanya sambil menatap Ibu yang berurai airmata.

“Ayah yang gila! Nggak bisa ngertiin anak perempuannya!” teriakku marah.

Plak!!!

Saat tamparan itu mendarat di pipiku. Untuk kedua kalinya aku tahu apa yang aku mau setelah yang pertama keinginanku untuk menikah diusia muda.

Aku membawa pakaianku seadanya dan aku meninggalkan rumah itu untuk waktu yang tidak ditentukan. Aku mengikuti kemana hatiku akan membawaku.  Berhari-hari di bus, berhari-hari di kapal, dan berjalan jauh menyusuri jalanan.

Dan kemudian aku bertemu Karso, mengenal, menyayangi dan mencintainya.

-

Aku terbangun saat The Moment menelusup lembut di telingaku. Kukeluarkan ponsel itu dari sakuku. Kubuka jendela kamarku, sejuk empun pagi mencumbu wajahku. Aku berbisik lirih untuk diriku dan semesta.

“Aku ingin pulang.”

-

Karso bergelung di sofa ruang depan. Sebelum tanganku menyentuh puncak hidungnya dia terbangun. Nafasnya berat dan tersenyum sambil meraih tanganku.

“Sini, cerita sama Mas..”

Aku menyusup ke dalam pelukannya dan mulai bercerita tentang gadis kecil dengan luka sayat di wajah, yang membuat aku mengingat masa laluku, Ibu, Ayah, dan Giselle yang keras kepala. Karso mendengar sambil tangannya mengusap ubun-ubunku.

“Kita pulang ya sayang…?” Karso tahu apa yang aku mau. Aku tersenyum dan mengangguk.

-

Jemariku bergetar hebat saat menekan nomor telepon rumah. Wajahku panas dan mataku berair. Jantungku berdetak kencang saat telepon tersambung. Tiga nada sambung dan kemudian…

“Halo,” suara itu, aku sangat merindukannya. Air mataku mengalir. Karso yang duduk di sampingku menepuk halus pundakku.

“Bu, Giselle boleh pulang?” sekarang aku terisak-isak dan susah bernafas. Di seberang sana, Ibu berteriak memanggil Ayah dan menyebut namaku. Ibu menangis kencang. Di sela-sela tangisnya aku mendengar kerinduan untuk anak perempuan satu-satunya.

“Pulanglah Nak,”

***

Sumber gambar : http://www.djibnet.com/photo/2865201257-the-moment.jpg




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog