Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Pencarian

11 November 2012

Deddy Mizwar, Sang Nagabonar

“Breeaaak …!” seru sutradara. “Bungkus!” lanjutnya.

Ia pun berjalan melenggang dari setting di bilangan Depok seraya membuka kancing baju deretan paling atas. Ada kelelahan yang segera menyergap dan tampak dari wajahnya yang bermakeup. Namun belum melintasi salah satu lighting di salah satu sudut setting sebuah rumah besar, beberapa orang menyerbunya.

“Bang Haji … Pak Ustadz …!”
Tak ada yang bisa diperbuat selain senyum dikembangkan. Termasuk dengan sabar mesti melayani mereka: berjabat tangan, tanda tangan dan foto bersama. Bahkan ketika kemudian seseorang menyeruak dengan susah-payah.

“Bang Haji …elus perut saya dan minta doanya, ya. Biar ntar anaknye jadi orang baik, kayak Pak Ustadz,” kata ibu muda berperut buncit sambil mendekati lelaki itu.
Usai acara melayani penggemar berjumlah puluhan di tempat syuting, ia membersihkan wajah dengan kapas dan cairan pembersih. Kaki diselonjorkan. 

”Pekerjaannye gua demen, tapi yang bikin kagak demen dengan ibadah yang sering ketinggalan begini. Lu udeh shalat?” tanyanya seraya menuju salah satu kamar mandi untuk segera berwudlu, mengambil air sembahyang.

Deddy Mizwar, jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan ia benar-benar tak enak hati mendapat sebutan ustadz seperti dalam peran-perannya di hampir semua sinetron. Maka ia kerap dengan halus menampik untuk acara dengan dirinya menjadi ustadz, bukan di depan camera. 

“Udeh, omong-omong pengalaman … apa ya, pengalaman spiritual, gitu. Atau gua cerita dalam menjalankan ibadah, gitu aja, ye?” jawabnya setiap kali diminta untuk berceramah dengan muatan agama – seperti kemahirannya memainkan sebagai tokoh ustadz.
Deddy Mizwar belakangan identik dengan itu: Bang Haji atau Pak Ustadz. Tak kurang dan tak lebih. Kendati tak bisa ditampik, serenteng peran tokoh panutan yang diperaninya bak menyatu dalam dirinya. Lelaki kelahiran Kemayoran, Jakarta itu menjalani kehidupannya baik-baik dan di jalan yang lurus-lurus saja. 

Jika tak ada kegiatan di luar rumah, lebih memilih tumpukan buku-buku yang bisa mencerahkan hidupnya. Yang menenangkan hatinya. Sehingga ia tak pernah galau dengan kehidupan glamour yang kerap mengepung artis sebagai profesinya. 

Rumah tangganya pun jauh dari dera gossip. Anak perempuannya yang sempat bermain bareng di layar sinema – karena kemampuannya, bukan karena nama Deddy Mizwar – memilih jadi orang media televisi. Setelah menyabet salah satu gelar None Betawi.
Bang Haji dari rumahnya di bilangan Pondok Gede akan menyetir sendiri ke kantor, termasuk dengan jeep willys bak terbuka. Atau jalan ke mana tanpa beban seorang yang menyandang gelar selebritis. Sehari-hari ia lebih senang mengenakan baju gamis. Kalau memungkinkan, setiap ke acara apa saja. Kondangan pun ia bisa berbaju seperti itu. 

“Gue sebenarnya males makan di luar nih, Rin,” katanya sehabis rapat di kantor perusahaan PH-nya di mobil menuju sebuah hotel bintang lima di Kuningan. 

“Mana udah malem, jauh dan mahal lagi.”
“Kan yang bayar bukan Bang Haji.”
“Iye. Juga bukan lu yang bayar, kan?” Lalu, kami tertawa.
Deddy Mizwar tak suka basa-basi, apalagi berakting berpura-pura menjalani hidup. Pemeran Jenderal Nagabonar yang naïf itu lebih senang dunia akting dengan menseriusi naskah-naskah yang baik dan menantang. Tak pelak, ia memilih untuk soal yang satu itu, termasuk ketika ia bermain dalam layar lebar sejak tahun 1976 lebih bergaul dengan Asrul Sani, penulis handal Kejarlah Daku Kau Kutangkap yang satire itu. Atau naskah Arswendo Atmowiloto: Opera Jakarta garapan Syumanjaya. Juga sutradara Wahyu Sihombing dan Arifin C. Noer. 

“Gua selalu pengin mendapat naskah yang bagus, dan ayo kita beradu akting di situ,” ungkap peraih Piala Citra dan 12 kali menjadi nominator Festival Film Indonesia serius. 

Hal itu dikatakannya saat habis menerima surat pemberitahuan karena filmnya dipuji (lagi) oleh panitia Festival Film Bandung (FFB) saat negeri ini sedang krisis, tahun 1998. Boleh jadi ia pemain film (sinema) dengan rekor paling banyak, di samping masih aktif di usianya 57, dan laris – lihat saja berapa produk yang dibintangiklani.
Tak bisa mungkiri, Deddy Mizwar yang berlatar belakang teater, kerap gelisah dengan film yang lebih mudah dipilih – seperti ia setuju dengan KOMPAS karena saking sedikitnya film bagus dalam film yang difestivalkan. Jika ia menerima menjadi ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), karena berniat untuk memperbaiki “sistem” perfilman yang ada di negeri ini. “Biar kagak ramainya, doang,” katanya setengah bercanda.
Kegalauan Deddy bisa dimengerti. Termasuk ketika demam sinetron yang berlabel “religi” yang menurutnya mendangkalkan akal sehat masyarakat dalam memahami Islam. Kecil persentase kematian seseorang “berdosa” dengan cara yang super aneh atawa berlebihan: mayatnya memanjang, tubuhnya mengeluarkan belatung dan sejenisnya. 

Deddy dengan cerdas membuat sinetron tandingan setelah merembugkan dengan tim penulis skenario, di antaranya Wahyu AS yang sudah bekerja belasan tahun di perusahaannya. Yakni salah satu adegannya ketika di lubang kubur yang digali terus-menerus mengeluarkan air, sempat membuat mereka yang melayat kebingungan. 

Deddy yang berperan sebagai tokoh panutan (agama) sempat berkernyit kening. Namun ia meminta mereka yang menggali terus menggali. Ternyata di dasar lubang makam itu ada pipa PAM yang bocor. Terjawablah sudah, bukan karena ada orang meninggal karena dosanya yang diidentikkan dengan hal aneh secara berlebihan. 

“Kita ini suka dengan yang aneh-aneh seperti Mbah Jambronglah, maka masyarakat akan terbawa aneh-aneh,” cetus alumnus IKJ – Institut Kesenian Jakarta itu.

Deddy konsekuen (ia kerap mengistilahkan: istiqomah) dengan jalan yang dipilih dalam membuat film yang tidak mendangkalkan akal sehat. Ia selektif dalam memproduksi. Bila dianggap tak ada naskah yang cocok, ia memilih momentum yang tepat. Memilih kualitas cerita skenario dan memainkannya secara serius. Maka ia pun bertanggung jawab terhadap kru dalam memproduksi sebuah film atau sinetron dengan imbalan memadai. Kendati ia dengan mudah lumer kalau ada orang pengin bekerja dengannya, walau kemampuan belum terasah. Asal serius dan tekun. Namun instingnya jalan, sehingga banyak pemain, penulis naskah skenario dan bidang yang dimenangi dalam ajang festival film.
Ia menjadi panutan di lingkungannya. Juga oleh sutradara, yang notabene kerap diangkatnya, sementara ia berkonsentrasi sebagai pemain, berakting. Maka suasana guyup dan guyon yang menyelinap menjadi bagian dari kerja kreatif di dunia sinema. Dan tanpa dikomando, mereka bekerja serius di masing-masing bidangnya. Saling membantu apabila ada yang perlu diuluri. Dan Deddy tetap tak melupakan ibadahnya di sela-sela kepadatan waktunya berperan sebagai “haji” atau “ustadz”.
Lorong Waktu, Hikayat Pengembara dan Para Pencari Tuhan (PPT) adalah buah keseriusan panjang Deddy Mizwar dalam menggeluti dunia sinema bermuatan moral (agama). Ia tetap membumi dengan garapannya, sehingga bisa diterima audience-nya. Ratingnya tinggi, di atas rata-rata dan ajeg. Sehingga iklannya mengerojok tanpa melindas idealismenya. Ia tak lelah dengan pencarian thema yang membumi, meski kedengaran remeh-temeh dan aneh-aneh. Seperti Kentut, Alangkah Lucunya (Negeri ini) atau Kiamat Sudah Dekat.
Ia tak lelah dengan pencarian thema dan cerita yang baik. Ia melakoninya, dan ingin apa yang diambilnya bermanfaat bagi banyak orang yang menghormati buah kerja dan karyanya. Deddy ingin, di lingkungannya, mencari “kebenaran” dan “kelurusan” di dunia yang memasuki era tumpang-tindih. Itu sebab ia yang sudah terseret dengan jalan sunyi, jalan melalui sinema yang digeluti ingin banting stir? Karena terbersit untuk membenahi rambu-rambu yang ditabrak tokoh masyarakat? Sedangkan ia hanyalah seorang haji, seorang ustadz dalam film-filmnya.
Deddy Mizwar ada di antara rombongan pekerja seni yang mendatangi Kantor KPK di Jalan HR Rasuna Said Jakarta untuk mendukung lembaga pemberantasan korupsi, Minggu lalu. Juga namanya mengintip ke permukaan sebagai yang akan dicalonwakilkan Gubernur Jawa Barat oleh Partai Keadilan Sejahtera. Sebuah tawaran yang tidak aneh di dunia yang lain. Karena tahun 2009 bahkan ia sempat mendeklarasikan untuk masuk bursa Calon Presiden bersama dengan Jenderal (Purn) Saurip Kadi di TIM, Jakarta. Juga sempat diskenariokan (oleh PDI Perjuangan) dengan menjadi pasangan Jokowi dalam pilkada DKI Jakarta lalu.


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog